Kenikmatan Ramadhan sepertinya tidak bisa dirasakan etnis minoritas
Rohingya. Saat muslim lain di Asia Tenggara sibuk dengan rutinitas sepanjang
Ramadhan, etnis yang tinggal di Barat Myanmar ini harus berbondong-bondong keluar
dari tanah kelahiran mereka. Bentrokan Rohingya-Rakhine pada awal Juni lalu
disinyalir menjadi pemicu mengungsinya etnis minoritas ini.
Mayoritas dan homogenitas
Sebagai negara yang tengah melakukan reformasi besar-besaran, Myanmar
memiliki demografi penduduk yang cukup homogen. Hal ini tidak lepas dari
tradisi yang terbentuk secara etnisitas dan religiusitas di mana 67 persen penduduk
Myanmar beretnis Burma dan lebih dari 85 persen beragama Buddha. Kondisi sosial tersebut merupakan opsi signifikan
bagi pemerintah Myanmar untuk mengkonstruksi identitasnya dalam proses
pembentukan negara.
Meninjau rekam jejak pemerintah junta militer yang otoriter dan represif, proses
tersebut memiliki kecenderungan untuk dimanipulasi oleh elit yang terlibat
dalam konstruksi identitas untuk dijadikan sebagai aturan yang sah. Disadari
atau tidak, pemerintah Myanmar berusaha memperbaiki citranya di mata
internasional sambil memperkuat identitas nasionalnya. Identitas yang solid ini
hendak ditunjukan Myanmar melalui kesatuan negara dan legitimasi kekuasaan
melalui penciptaan populasi yang seolah-olah bersatu.