Kenikmatan Ramadhan sepertinya tidak bisa dirasakan etnis minoritas
Rohingya. Saat muslim lain di Asia Tenggara sibuk dengan rutinitas sepanjang
Ramadhan, etnis yang tinggal di Barat Myanmar ini harus berbondong-bondong keluar
dari tanah kelahiran mereka. Bentrokan Rohingya-Rakhine pada awal Juni lalu
disinyalir menjadi pemicu mengungsinya etnis minoritas ini.
Mayoritas dan homogenitas
Sebagai negara yang tengah melakukan reformasi besar-besaran, Myanmar
memiliki demografi penduduk yang cukup homogen. Hal ini tidak lepas dari
tradisi yang terbentuk secara etnisitas dan religiusitas di mana 67 persen penduduk
Myanmar beretnis Burma dan lebih dari 85 persen beragama Buddha. Kondisi sosial tersebut merupakan opsi signifikan
bagi pemerintah Myanmar untuk mengkonstruksi identitasnya dalam proses
pembentukan negara.
Meninjau rekam jejak pemerintah junta militer yang otoriter dan represif, proses
tersebut memiliki kecenderungan untuk dimanipulasi oleh elit yang terlibat
dalam konstruksi identitas untuk dijadikan sebagai aturan yang sah. Disadari
atau tidak, pemerintah Myanmar berusaha memperbaiki citranya di mata
internasional sambil memperkuat identitas nasionalnya. Identitas yang solid ini
hendak ditunjukan Myanmar melalui kesatuan negara dan legitimasi kekuasaan
melalui penciptaan populasi yang seolah-olah bersatu.
Hal inilah yang disebut Heather Rae (2002) sebagai bakal dari homogenisasi patologis (pathological homogenization). Istilah ini merujuk pada berbagai strategi yang berupaya mengeluarkan secara sah kelompok-kelompok minoritas dari hak-hak kewarganegaraan, hingga strategi konversi paksa atau asimilasi, pengusiran dan pemusnahan. Tujuan akhirnya tidak lain menciptakan sebuah penduduk homogen dalam batas-batas negara berdaulat.
Homogenisasi patologis bukanlah hal baru. Beberapa negara pernah
mempraktikannya, seperti Perancis di bawah kepemimpinan Louis XIV, genosida
Armenia di Turki pada 1915-1916, pembersihan etnis di Yugoslavia, diskriminasi
etnis Roma di Ceko dan etnis Albania di Makedonia. Untuk kasus Myanmar, setidaknya terdapat empat
indikasi yang menunjukan praktik homogenisasi patologis.
Pertama, tidak adanya kemauan pemerintah Myanmar untuk
memberikan status kewarganegaraan kepada etnis Rohingya selama puluhan tahun,
meski secara historis mereka telah tinggal di Arkane sebelum Myanmar merdeka.
Hal ini juga tampak dari pernyataan Presiden Thein Sein yang akan mengirimkan Rohingya keluar dari Myanmar. Kedua, pembatasan ruang publik sengaja
dilakukan Myanmar dengan tidak memberikan hak atas, pendidikan, dan layanan
publik.
Ketiga, ketiadaan jaminan keamanan sering kali menempatkan Rohingya
sebagai objek kekerasan. Lebih buruk lagi, kekerasan terhadap etnis minoritas
ini disponsori oleh negara di mana tentara Myanmar ikut serta dalam pembantaian
terhadap etnis minoritas ini. Empat,
faktor mayoritas penduduk menjadi motivasi yang memperkuat ketiga indikasi
sebelumnya. Menurut Rae, faktor mayoritas memegang peran politis dalam praktik
homogenisasi patologis.
Refleksi Kita
Kekerasan terhadap etnis Rohingya sontak mengundang banyak respon, mulai dari
kritik atas diamnya pejuang pro-demokrasi Aung San Suu Kyi, hingga aksi donasi
internasional yang kebanyakan berasal dari komunitas muslim dunia. Empati pun
datang dari Indonesia. Atas dasar solidaritas kemanusiaan, masyarakat Indonesia
bahu membahu meringankan penderitaan etnis Rohingya di kamp pengungsian.
Perlu diketahui, tendensi kemanusiaan dalam aksi solidaritas tersebut tidak
lepas dari eksistensi komunitas muslim Indonesia yang merupakan kelompok
mayoritas. Namun, skala mayoritas ini memperlihatkan dua wajah berbeda. Di satu
sisi, totalitas solidaritas kemanusiaan muslim Indonesia dapat diacungi jempol
karena menunjukan konsistensi Indonesia dalam menjaga dan mengeksternalisasi
nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan norma internasional.
Di sisi lain, tendensi kemanusiaan yang tercitra dalam aksi-aski
solidaritas tersebut hilang manakala ego
mayoritas menjadi wajah yang dominan di ranah domestik. Penutupan paksa vihara
di Aceh misalnya, telah melanggar hak kebebasan menjalankan ibadah. Hal yang
paling disayangkan, aksi ini mengatasnamakan solidaritas keagamaan sehingga
berpoternsi mengancam kerukunan umat beragama di Indonesia.
Belum lagi aksi anarkis sepanjang bulan Ramadhan, seperti sweeping atas rumah makan yang
beroperasi pada siang hari yang terjadi di Sumatera
Barat, Cilegon, Banten dan Bandung. Sweeping
yang dilakukan polisi pamong praja
dan Organisasi Masyarakat (Ormas) ini kerap berujung pada ancaman pencabutan izin
usaha. Aksi anarkis tersebut memang hanya dilakukan oleh segelintir masyarakat,
tapi tetap saja menampilkan arogansi mayoritas.
Akibatnya, kesan yang muncul adalah intoleransi dari
mayoritas masyarakat Indonesia terhadap minoritas. Padahal, demokrasi seperti
yang diakui negara kita sejatinya menempatkan prinsip Majority's rule, minority's rights
di mana demokrasi
menjamin kehendak rakyat melalui aturan mayoritas, tetapi tetap melindungi
hak-hak minoritas. Karenanya, ramadhan
kali ini seharusnya menjadi ajang intropeksi bagi mayoritas Muslim untuk
menampilkan wajah Islam yang sebenarnya, Rahmatan lil alamin. Bukan malah menampilkan mentalitas arogan dari mayoritas.***
(Tulisan ini pernah dimuat dalam pelitaonline.com tepatnya pada link http://www.pelitaonline.com/read-opini/145/minoritas-rohingya-dan-refleksi-mayoritas/)
No comments:
Post a Comment