
Sebuah
perubahan historis disuratkan mengubah dunia saat ini. Negara-negara maju Barat
dengan cepat dilibas negara-negara berkembang dalam ukuran perekonomian. Secara
kolektif, mereka adalah mayoritas penghuni dunia. Laju pertumbuhan
ekonomi mereka juga lebih besar dari negara-negara maju. Kebangkitan mereka sudah menghasilkan
pergeseran signifikan dalam perimbangan kekuatan ekonomi global.
Padahal, prasyarat untuk menjadi sebuah kekuatan hegemonik adalah kekuatan ekonomi. Meski begitu, kekuatan imperial yang bangkrut hampir selalu menyangkal kenyataan. Contohnya saja Inggris pada 1918 dan berdasarkan perilaku pemerintahan Bush yang gagal membaca tanda-tanda zaman. Terbiasa hegemonik terlalu lama membuat AS dan Barat sulit menerima sebuah dunia yang terus-menerus menyusutkan pengaruh mereka.
Bagi
Barat, kemajuan hampir selalu didefinisikan menurut derajat westernisasi. Kenyataannya, ketika berbagai negara semakin makmur,
mereka semakin percaya diri terhadap budaya dan sejarah mereka sendiri.
Mereka juga
tidak begitu condong untuk meniru Barat, termasuk China. Meski
banyak negara berkembang tengah bangkit, China tetap yang paling penting secara
ekonomi.
Di
sisi lain, sikap arus utama Barat
meyakini dunia relatif tidak akan banyak berubah dan China akan menjadi negara
tipikal Barat. Hal ini didasarkan pada asumsi: China akan menerima status quo dan menjadi anggota
masyarakat internasional yang patuh. Sayangnya, asumsi ini meleset. Efek
kebangkitan ekonomi China terasa di seluruh dunia, terutama dari anjloknya
harga barang-barang konsumsi dan naiknya, sampai krisis kredit
dan harga komoditas.
China
memang masih
berada dalam tahapan transformasi awal menuju perekonomian modern pada 2027, tetapi
China diproyeksikan akan menggusur AS sebagai
perekonomian terbesar dunia. Sebagai kekuatan baru yang akan muncul, China
tentu akan memanfaatkan kekuatan ekonomi baru mereka demi tujuan-tujuan politik,
budaya, dan militer. Pada dasarnya, semua negara selalu melihat dunia dalam
kerangka pengalaman mereka sendiri. Saat mereka menjadi
hegemon, mereka akan berusaha membentuk dunia menurut nilai dan prioritas mereka.
Untuk
itu, buku ini menghadirkan satu pandangan futuristik yang meyakini pengaruh
China terhadap dunia tidak hanya sebatas pada ekonomi. Sebaliknya, efek politik
dan budayanya akan berdampak sama luas. Argumen tersebut pun dipaparkan secara
komprehensif dari aspek historis maupun kultural yang membedakannya dengan
Barat. Sebab, China tidak bisa dilihat sebagai sebuah negara-bangsa.
Berbeda
dengan Barat yang identitas rakyatnya diungkapkan dalam kerangka negara-bangsa,
identitas China dibentuk sebelum menyandang status negara-bangsa─di mana
rakyatnya terus menunjuk apa yang disebut sebagai sejarah 5.000 tahun. Dengan
kata lain, bukanlah ide kebangsaan yang mendefinisikan mereka, tetapi
peradaban. Dalam konteks ini, China jangan dipandang sebaga negara-bangsa
melainkan negara peradaban.
Secara
otomatis, konteks ini pun menjelaskan bagaimana keterkaitan pelosok China yang
sekarang disebut Asia Timur berdasarkan hubungan upeti. Negara-negara yang
mengakui keunggulan budaya China dan kekuatan besarnya membayar upeti kepada
Kerajaan Tengah (Zhõngguó) dengan
imbalan kemurahan hati dan perlindungan. Di samping itu, hal yang perlu
diketahui dari karakteristik China yang paling penting, yakni kesatuannya.
Kalangan
Barat meyakini China akan terpecah-pecah seperti Uni Soviet pasca penindasan
Lapangan Tiananmen. Lagi-lagi asumsi ini keliru. China sedang bergerak ke arah
sebaliknya. Meski harus melewati masa panjang Balkanisasi, China bertahan
mencapai kesatuan. Hasilnya adalah sebuah negara yang didiami manusia terbanyak
yang menempati wilayah yang kurang lebih sama selama hampir dua milenium. Kondisi
ini tentu mempengaruhi caranya memandang bangsa-bangsa lain.
Untuk
memahami bagaimana China mendefiniskan dunia, buku ini menjadi bacaan yang tidak
bisa dilewatkan. Terlebih lagi, buku ini berusaha menjelaskan kebangkitan China
dan perubahan yang dibawanya pada peta geoekonomi dan politik global. Maka, bagi
mereka yang mengikuti perkembangan konstelasi global, buku ini layak dijadikan
referensi yang dapat memberikan tinjauan masa depan.
Lelly Andriasanti,
Dosen Ilmu Hubungan Internasional IISIP Jakarta
Judul : When China Rules the World (Ketika China Menguasai Dunia)
Penulis : Martin Jacques
Penerjemah : Noor Cholis, Jarot Sumarwoto
Terbit : 2011
Penerbit : PT. Kompas Media Nusantara
Tebal : 606 halaman
No comments:
Post a Comment