Pada
akhir Mei 1945, pertanyaan tentang dasar negara mengawali sidang Badan Penyidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketika para anggota sidang
umumnya lebih memilih untuk membahas Undang-Undang Dasar, Soekarno menjawab
pertanyaan itu dalam bentuk pidato pada 1 Juni 1945 dengan judul Pancasila. Soekarno
menyebut kelima prinsip tersebut sebagai Weltanschauung
(ideologi negara bangsa).
Bagi
Soekarno, Weltanschauung yang
dimiliki suatu negara haruslah sesuai dengan kondisi bangsanya masing-masing. Dilatarbelakangi
oleh penderitaan bangsa di bawah penjajahan Belanda dan Jepang, Bung Karno
bertekad mengikis habis dampak buruk penjajahan dengan diawali mengangkat harga
diri bangsa Indonesia. Salah satu cara yang ditempuh adalah menggali Weltanschauung dari jati diri dan budaya
bangsa Indonesia sendiri.
Wajar saja jika Bung Karno menolak mentah-mentah impor Weltanschauung negara dan bangsa asing, sebab belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Secara berurutan, Weltanschauung yang dirumuskan dalam lima sila tersebut adalah sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagi
mereka yang berpandangan normatif-tekstual, sila Ketuhanan sangat sakral
sehingga menghendakinya sebagai sila pertama. Hal ini didasari oleh
pertimbangan bahwa Ketuhanan merupakan primakausa bagi sila-sila lainnya. Paham
yang umumnya dianut oleh kalangan institusi keagamaan ini pun semakin mendapat tempat di
era Orde Baru yang berusaha menghilangkan jejak Bung Karno dalam sejarah
lahirnya Pancasila.
Akhirnya,
selama berpuluh-puluh tahun Pancasila versi Soekarno ini seolah terlupakan
sebagai sebuah referensi otentik bagi Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945.
Bahkan, ada kecenderungan sistemik untuk menistakan Soekarno, karena menilainya
melakukan kekeliruan mendasar dengan meletakkan Ketuhanan sebagai sila kelima.
Sedangkan Kebangsaan ditempatkan pada sila pertama.
Melalui
pendekatan historis, buku ini mencoba mengkaji Pancasila 1 Juni 1945 dari sudut
pandang syariat Islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan sisi kebangsaan
menurut syariat yang selama ini selalu dipertentangkan. Buku
ini sekaligus menunjukan bahwa kebangsaan atau nasionalisme
Indonesia sama sekali tidak bertentangan dengan syariah. Peletakan sila kebangsaan
lebih dilatari momentum kemerdekaan di mana rasa kebangsaan adalah faktor utama
dalam membangun negara yang merdeka.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang dibangun atas dasar kesamaan
sebagai bangsa. Dengan kata lain, Indonesia adalah negara kebangsaan dan bukan
negara yang dibangun oleh kesamaan agama. Itulah mengapa Bung Karno meletakkan
sila kebangsaan pada sila pertama dalam pidato kelahiran Pancasila. Sedangkan
filosofi penempatan sila Ketuhanan sebagai sila terakhir bukanlah dimaksudkan
untuk menistakan keyakinan agama.
Dalam
syariat Islam, baik secara tekstual maupun kontekstual, adalah sangat kuat
dasarnya untuk menempatkan sila ketuhanan pada sila terakhir. Terlebih lagi, Allah
SWT menyatakan dalam Al-quran, nama-Nya dapat disebut di awal ataupun di akhir
(Huw al-Awwal wa al-Akhir). Dilihat
dari sudut filsafat pun, Bung Karno telah menjadikan sila Ketuhanan sebagai
dasar pemikiran final cause atau ultimate cause. Artinya, Tuhan dipandang
sebagai tujuan akhir dari segala amal pengabdian di dunia.
Selain
itu, buku ini juga menunjukan benang merah antara lahirnya Pancasila dengan
perjuangan kebangsaan yang dilakoni oleh Bung Karno. Berdasarkan catatan
sejarah, perlawanan kali pertama terhadap Belanda di ranah politik nasional
modern dilakukan Bung Karno ketika ia diadili oleh Pengadilan Belanda di
Bandung. Melalui pidato yang berjudul Indonesia Menggugat, Bung Karno tampil
sebagai representasi bangsa dalam pengadilan tersebut.
Hal
terpenting yang harus dicamkan ialah, pidato lahirnya Pancasila oleh Bung Karno sama sekali
tidak berarti bahwa Pancasila adalah ciptaan Bung Karno
seorang. Ia sendiri selalu menolak untuk disebut demikian. Ia
hanya mengaku sebagai perumus Pancasila yang segenap isinya digali dari rasa
yang tumbuh pada budaya Indonesia sendiri, dan semuanya merupakan anugerah dari
Tuhan. Jadi, tidak salah jika dikatakan bahwa Pancasila adalah anugerah untuk bangsa ini.
Secara
keseluruhan, buku ini merupakan referensi yang menarik untuk memperkaya
khazanah pemahaman kita mengenai Pancasila, baik menurut versi 1 Juni 1945
maupun yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Tidak hanya itu, gaya bahasanya
yang mudah dicerna juga mempermudah pembaca untuk memahami filosofi historis
tentang pendirian Indonesia sebagai negara sekaligus bangsa.
Karena itu, buku ini merupakan
referensi yang patut dibaca agar kita lebih
menghargai perjuangan para pendiri bangsa.
Lelly Andriasanti,
Dosen Institute Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
Judul : Pancasila 1 Juni dan Syariat
Islam
Penulis : Hamka
Haq
Editor : Ariful Mursyidi
Penerbit : RMBooks
Tebal : 237 halaman
No comments:
Post a Comment