![]() |
Dua orang waria dan seorang priawan ini tengah mengampanyekan anti kekerasan terhadap transgender dalam TDOR 2014. |
Di Indonesia, transgender selalu diidentikan dengan waria. Saking mendominasinya isu waria dalam diskursus transgender, keberadaan priawan pun seperti terlewatkan. Lalu, apa itu priawan? Kapan mereka ada? Di mana saja mereka berada?
Istilah priawan memang masih asing di telinga kita. Diperkenalkan oleh Guru Besar Psikologi UGM Prof. Koentjoro, Ph.D pada 2004, istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang secara biologis perempuan, tetapi menghayati dirinya sebagai laki-laki. Pemahaman mengenai priawan tidak berhenti sampai di situ. Berdasarkan hasil konsolidasi yang dilakukan Persatuan Priawan Indonesia (PPI) di Jakarta, priawan diartikan sebagai transgender laki-laki —pria yang secara biologis wanita— baik yang sudah melakukan transisi ataupun tidak.
Terlepas dari pemaknaan ulang priawan seiring perkembangan keilmuan kontemporer, eksistensi mereka tidak muncul begitu saja. Merujuk pada sejarah etnografis dan kesustraan di negeri ini, keberadaan mereka cukup diketahui oleh masyarakat umum. Tersebar dari Sulawesi hingga Sumatera, mereka dikenal dengan istilah-istilah lokal seperti calalai di masyarakat Bugis; Srikandi dalam tradisi wayang Jawa; Sentul-Kantil; tomboi dan pacar perempuan di Sumatera Barat (1980-an); tomboi dan istri di Kalimantan Barat.